(not) anybody can be a PR

suatu pagi ada email yang masuk menanyakan tentang sebuah posting yang saya buat, sekaligus menanyakan alasan pemilihan suatu foto, beberapa captions beserta alasan yang melatarbelakangi. Sederhananya, ada yang meminta penjelasan. Dalam dunia birokrasi, permintaan penjelasan adalah kabar yang baik. Kenapa? Karena umumnya.. staff tidak perlu menjelaskan apapun. Komunikasi berjalan satu arah. Jadi bila terjadi, suatu permintaan penjelasan, berarti telah ada upaya komunikasi dua arah, yang bagaimanapun juga berarti positif.

Ada satu kalimat yang menggugah dalam email itu “saya masih belajar tentang PR”

Kalimat sederhana yang membawa saya ke suatu kelas, beberapa tahun dibelakang, ketika dosen saya waktu itu, a malaysian lawyer, menjelaskan tentang ‘topi’. Kita adalah ‘topi’ yang kita kenakan saat itu. Ketika saya mengenakan ‘topi’ seorang istri, seorang ibu, ‘topi’ menjadi peran yang kita jalankan setiap hari. Sama halnya dengan pekerjaan kita. We just can’t do it all. We just can’t be all. There’s always role to play. Dan tiap peran itu dirancang untuk saling mendukung.Saling melengkapi. Tiap peran direkatkan dengan putih telur bernama: kepercayaan.

Dalam beberapa pelatihan, kami bukan hanya saya, selalu diingatkan tentang ‘peran/role‘ bahwa semua pekerjaan sama pentingnya, tidak boleh ada peran yang dikecilkan atau dianggap tidak penting, bahkan overlapping pekerjaan adalah kejahatan serius.

Ketika kembali diingatkan bahwa, semua orang, semua anggota organisasi adalah PR, itu bukanlah kejutan. Semua orang memang perlu menjadi cermin organisasi, tentunya dengan tidak mengesampingkan peran utama kita, atau mengecilkan pekerjaan orang lain.

‘Ketika seorang pengamanan bersikap sopan pada tamu yang datang, tidak peduli penampilannya, atau apakah yang datang itu memakai sendal atau sepatu– pak satpam itu telah bekerja sesuai salah satu prinsip Ombudsman: impartialitas. Secara alamiah pak satpam telah menjalankan pekerjaan seorang PR, menjaga marwah organisasi. Meskipun demikian, pak satpam tetap memakai ‘topi’ satpam, sebagai peran utamanya.

anybody can be PR, but (not) anybody is PR. anybody in the organization has role to play, a track to walk on.

Orang bijak berkata: anda tidak akan menjadi cantik dengan menjelekkan orang lain. Anda tidak akan menjadi besar dengan mengecilkan orang lain .. begitu sederhana. Meskipun tidak semua orang dapat hadir di pelajaran dimana kita harus saling menghargai.

Semua orang masih belajar. Sejak buaian sampai liang lahat semua orang harus belajar. Sepanjang jalan hidup kita mengamalkan apa yang telah kita pelajari, berbagi, berlatih dan belajar terus. Sederhana.

🙂

Live long and prosper.

Kaukah yang mengepakkan sayap?

kaukah itu?

yang desaunya sampai disini..

yang geletarnya menghempas tanah basah

jadi debu berguguran

kaukah yang mengepakkan sayap?

penyampai kabar-kabar gembira

waktu tubuh letih

berganti

berhenti

berharap

berdoa

akankah tiba pada waktunya,

bersyukurlah, katamu.. bersyukurlah untuk pertemuan dan penghiburan

ah, kau..

ternyata memang kau, yang mengepakkan sayap..

 

Jakarta, Agustus, 2013

Pengantar pada ‘Ombudsman dalam Berita’ –kritik dan sarannya ditunggu ^^

Semua bermula dari hal-hal yang sederhana, begitu juga ide untuk mengemas ulang pemberitaan tentang Ombudsman dalam satu kompilasi Ombudsman Dalam Berita.  Ide untuk menyusun ulang materi kliping harian yang belum pernah ada sebelumnya, kiprah Ombudsman yang terliput dalam media massa.

Ketika membenahi kliping harian Ombudsman, kami selalu sadar bahwa ini bukan dokumentasi atau sekedar guntingan koran. Pemberitaan Ombudsman adalah sidik jari pelaksanaan pekerjaan Ombudsman hari demi hari. Semua rekam jejak kinerja Ombudsman, rekomendasi Ombudsman, gebrakan Ombudsman, jejak-jejak kinerja yang masih segar dalam ingatan kita. Dari sini timbul pemikiran untuk mengemas kliping yang memang sudah hadir setiap hari menjadi catatan harian untuk merekam peristiwa-peristiwa seputar kegiatan Ombudsman.

Dalam menyusun ‘Ombudsman Dalam Berita’ , kita akan fokus pada tema dasar keberadaan Ombudsman: Perbaikan Pelayanan Publik. Ombudsman memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan pelayanan publik hingga menyelesaikan laporan-laporan pengaduan terkait pelayanan publik. Melalui tulisan ini, kita akan semakin membuka mata dan hati kita terhadap masalah-masalah terkait perbaikan pelayanan publik. Dalam prakteknya,Ombudsman yang turun ke lapangan menghadapi jutaan permasalahan dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks. Pada titik ini, seorang Ombudsman yang piawai wajib memiliki kualitas khusus: handal dalam menghadapi birokrasi, sigap membuat keputusan, intelektualitas yang tinggi, santun, impartialitas (tidak memihak), kepedulian terhadap masalah, mampu menentukan prioritas, perilaku yang baik dan lain sebagainya. Kita semua mengharapkan Ombudsman dapat hadir dalam sosok yang matang, mampu menghadapi tantangan multi-dimensional. Bukan sekedar seseorang hanya pandai bicara.

Buku ‘Ombudsman dalam Berita’ berisi kumpulan pemberitaan tentang Ombudsman. Kumpulan pemberitaan tersebut dipilah dalam tiga bab yang mengulas 1) sejarah Ombudsman, 2) Ombudsman Bidang Pencegahan, Pengawasan dan Penyelesaian Laporan dalam Berita, 3) Tantangan Ombudsman dimasa depan. Kita memiliki harapan yang sama yakni, kehadiran buku ini dapat membantu lebih memperkenalkan Ombudsman pada masyarakat. Kita juga berharap buku ini dapat membantu meyakinkan masyarakat atas manfaat dan peran Ombudsman dalam perbaikan pelayanan publik.

Akhir Kata, buku ini didedikasikan pada rekan-rekan pelayan masyarakat di seluruh Indonesia. Semoga kehadiran buku ini dapat menjadi inspirasi bersama, mewujudkan Indonesia yang lebih baik, bersama Ombudsman menuju pelayanan publik yang lebih baik lagi.

Jakarta, Agustus 2013

The right to know

UU no.14/2008 Information Openness specifically stated that there is a “people’s right to know”. This particular “right” is usually defined as the right of the public to have access to information about governmental policy and decision making. The people must have full and robust information about what their government is doing. Government secrecy is thought to lead to suspicion and a lack of confidence in public officials and their policies. The people’s right to know is transformed, however imperfectly, from an abstract principle to a reality in ‘information openness act’ that require government bodies to hold open meetings and to have their records open for public inspection.

Theoretically, government should operate in the open and should be accountable and the “right to know” would make that possible.

The invention of the right to know is a great NGOs success story of which the NGOs (and the press) can justly be proud. It begins in the early 1990s when the NGOs (and the press) felt increasingly thwarted by bureaucrats who were standing between them and government information. These NGOs (mostly activists and they called themselves ‘the people’) wanted access to government records, documents, and proceedings at both the local and national levels. This was called the Freedom of Information (FoI) movement eventually gave way to the birth of Law No.14/2008 Public Information Openness.
The Public Information Openness had many positive consequences. It brought records hidden in the closet to sunshine.

–writing practice–

Orang Yang Menunggu

Duka adalah duka,
tak keliru dan tak terduga,
sementara kabar baik selalu datang tepat waktu,
tak peduli berapa lama kita menunggu

Bersamamu,
langit selalu berwarna merah muda,
bagaimana rasanya? Haruskah bertanya?
Kau selalu bisa membuatku, merasa,
ada rindu dalam luka

Maka akan kurangkai doa dengan pita merah muda,
serupa warna langit membiaskan sejuta cahaya,
akan indah pada waktunya,
lalu kuhapus airmata***