1. studi kasus #whatwouldaPRdo “PR adalah Pemadam Kebakaran”

“Pemadam Dipanggil, tetapi Enggak Mau, Katanya Takut Mati”

Kamis, 13 November 2014 | 16:28 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Api menghanguskan sedikitnya 14 rumah di RT 14, RW 05, Tanjung Duren Selatan, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Kamis (13/11/2014) pagi. Warga menyebut petugas pemadam kebakaran yang bertugas di sana tidak bekerja secara maksimal.
“Damkar agak lambat. Cari air ke kali nyedotnya, soalnya di sini enggak ada air. Tetapi kalau datang buru-buru tepat waktu, enggak sampai segini,” kata Ketua RT 14 Budiman, Kamis siang.
Warga lain, Maydi (20), mengatakan hal serupa. Saat kebakaran berlangsung, Maydi baru bangun tidur dan langsung menyelamatkan barang-barang miliknya.
Namun, saat akan mengungsikan sepeda motor, dia kesulitan mengeluarkan motornya dari area kebakaran karena sempitnya jalan yang dipenuhi oleh warga yang panik dan api yang menyambar dari atas.
Maydi terkena balok kayu yang terbakar dari atas rumah. Balok itu mengenai pundak sebelah kiri dan menyebabkan luka bakar. Saat itu, Maydi melihat seorang petugas pemadam kebakaran yang lewat, dan meminta tolong kepadanya. Namun, permintaan tolong itu ditolak.
Pemadam dipanggil, tetapi enggak mau. Katanya takut mati. Kalau takut mati, jangan jadi pemadam dong,” ucap dia mengeluh.
Maydi pun mengaku sempat ingin meminjam seragam pemadam kebakaran milik petugas agar dia tidak lagi terkena balok kayu yang berapi dari atas. Saat itu, kata Maydi, api sudah banyak menghanguskan bagian atas rumah dan menyebabkan bagian-bagian rumah yang kebanyakan dari kayu itu berjatuhan.
Penyebab kebakaran sementara diduga berasal dari lantai dua rumah kontrakan milik Mamat, warga sekitar. Lantai dua itu disewakan dan dihuni oleh dua orang pendatang dari Pandeglang, Banten, belum lama ini.
Salah satunya adalah Yanti, yang bekerja di Mal Central Park, dan seorang temannya yang bekerja di Pasar Kopro.
Yanti meninggal dalam kebakaran ini, sedangkan temannya sampai menjelang petang belum kembali ke rumah kontrakan tersebut. [Baca: Baru Sepekan di Jakarta, Yanti Meninggal Terbakar di Rumah Kontrakan]

Sumur:

http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/13/16285251/.Pemadam.Dipanggil.tetapi.Enggak.Mau.Katanya.Takut.Mati.

————————————————————————————————————————————————————-

Saya membaca berita ini dalam twit @kompascom social media milik Kompas.com. Judulnya memang sangat catchy. Catatan hari ini, semoga belum bosan…jangan pernah menilai berita dari judulnya. Judul berita sekarang memang dibuat semenarik mungkin hingga sering misleading, judging dan mungkin saja melanggar so called kode etik jurnalistik. Jadi, diulang, jangan pernah menilai berita dari judulnya.

however,

kemampuan analisis non verbal masyarakat berbeda. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan kemampuan memahami konteks. Akibatnya tidak ada cerita: berbeda tetapi satu seperti motto indah dalam pita yang dicengkeram garuda. Dalam tren media online dan media sosial, orang cenderung membaca singkat, paling parah kalau orang mulai sering membaca judul tanpa membaca seluruh isi berita. Akibatnya: misleading berjama’ah.

Misleading berjama’ah punya beberapa alias : Mis-Komunikasi, Mis-Understanding, intinya satu..terjadi mis, terjadi kekeliruan.

lalu seperti judul yang tercantum diatas: What would a PR do?

Pada contoh kasus pemberitaan kompas.com pada hari Kamis, 13 November 2014,

“Pemadam Dipanggil, tetapi Enggak Mau, Katanya Takut Mati”

Judul berita memang sangat menarik. Apakah penulisnya melakukan kesalahan? belum tentu, karena wartawan yang bersangkutan mengutip langsung dari narasumber. Ada beberapa hal yang ‘hilang’ dalam artikel itu, salah satunya: tidak ada pemberitaan berimbang. Terkait pemadam kebakaran takut mati, penulis sama sekali tidak meminta keterangan kepada dinas Pemadam Kebakaran. Penulis menggunakan dua narasumber yakni ketua RT 14 Budiman dan warga bernama Maydi. Keluhan Maydi-lah yang dikutip Kompas.com hingga menjadi judul berita. Masih menurut Maydi, yang bersangkutan mengadukan seorang petugas pemadam kebakaran yang menolak membantu memindahkan motor miliknya.

KOMPAS.COM/ANDRI DONNAL PUTERA Sebuah motor tidak berhasil diselamatkan saat kebakaran terjadi di RT 14 RW 05 Tanjung Duren Selatan, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Kamis (13/11/2014). Motor kesulitan dibawa keluar karena kondisi jalan yang penuh sesak warga yang panik dan api yang menyambar dari arah atas.

Dalam kebakaran tersebut ada satu orang korban tewas. Tapi, foto yang dimuat adalah foto motor yang tidak berhasil diselamatkan. Sejak kapan satu motor bisa jadi lebih bernilai daripada ..nyawa manusia? well.. Wartawan adalah pilar keempat demokrasi,dan kita sewajarnya menghargai independensi media dan kemerdekaan pers. Tapi Wartawan adalah manusia juga, dan manusia seperti kata alim ullama, manusia adalah tempat alpa dan salah. Tapi itu tidak akan kita bahas disini. Tulisan ini tidak untuk membedah artikel kompas.com, melainkan hanya mengajak kita semua untuk memahami, bila instansi kita berada pada posisi ini..what would you guys do?

1. Klarifikasi

Lokasi kebakaran di Grogol Petamburan, Jakarta Barat, maka yang paling tepat memberikan klarifikasi adalah pejabat berwenang, yakni…in my humble opinion ..adalah walikota Jakarta Barat bersama Kepala Suku Dinas Kebakaran Kota Jakarta Barat.

Perlu ada press conference agar kedepannya pemberitaan-pemberitaan seperti ini dapat di counter dengan baik. Pemberian klarifikasi.. seyogianya dimulai dengan kata ‘maaf’ mengapa demikian? karena ekspektasi masyarakat terhadap pemadam kebakaran begitu tinggi. Jadi apabila masih ada korban jiwa, kita telah gagal memenuhi harapan masyarakat. Maka, mulailah dengan kata ‘maaf’.

‘Maaf’ mengandung filosofi kewarasan terhadap tugas, fungsi dan ekspektasi. Secara alami—terkait ekspektasi — you just can’t please everybody — karenanya, dengan rendah hati, ucapkanlah ‘maaf’.

Alinea pidatonya bisa ditulis seperti ini:

“Mengenai keluhan Sdr. X seperti dimuat pada media Y, kami turut menyesal atas kehilangan harta benda yang sdr. alami. Untuk itu kami mohon maaf. Terkait keluhan yang sudah sdr sampaikan melalui media Y, kami dapat menjelaskan bahwa petugas kami, pada saat itu telah mendapat tugas memprioritaskan pada mencegah korban jiwa, mencegah kebakaran meluas dan memadamkan api. Maka dengan sangat menyesal kami sampaikan bahwa petugas kami tidak memprioritaskan pada penyelamatan harta benda milik pribadi.

Keluhan bapak bagi kami merupakan masukan yang berharga, saat ini Dinas-dinas pemadam kebakaran akan melakukan sosialisasi pencegahan kebakaran dan pelatihan pemadaman mandiri oleh warga, kegiatan ini akan dilakukan di tiap-tiap kelurahan dengan koordinasi langsung dengan dinas pemadam kebakaran setempat…”

2. Klarifikasi menggunakan hak jawab dan hak koreksi

Pada berita ini, pihak pemadam kebakaran memiliki hak jawab dan hak koreksi atas kekeliruan pemberitaan. Since the damage has already done hak jawab dan hak koreksi menjadi bagian dari beberapa tools media relations yang perlu dimanfaatkan. Gunakanlah dengan niat baik. Informasi yang keliru menghasilkan penilaian yang keliru juga. Menumpulkan nalar. Pada beberapa kasus, pemberitaan yang diamplifikasi oleh media sosial dan media mainstream menjadi viral dan bisa membuat orang ikut membenci sesuatu yang tidak diketahuinya dengan pasti.

Tugas kitalah untuk menghindari hal-hal seperti itu terjadi. Membangun kepercayaan sama dengan menjadikan instansi kita layak dipercaya. Karenanya, kritik perlu didengarkan, diperhatikan, bila perlu koreksi, kita lakukan koreksi. Jangan berharap waktu akan menghapus luka. Masyarakat kita katanya pelupa. Mungkin benar. People can forget what you say, but people will never forget how you make them feel.

Humas memang sering disebut sebagai unit pemadam kebakaran. Karena humas adalah ‘pemadam kebakaran’ maka kali ini, catatan ini dipersembahkan untuk rekan-rekan humas Dinas Pemadam Kebakaran, Jakarta. Karena kita menjadi unit pemadam, tentunya kita juga tahu apa-apa saja yang bisa menimbulkan ‘api’. Maka humas yang bijak akan mencegah ‘kebakaran’ meluas, salah satunya adalah dengan ‘memadamkan’ api-api kecil sebelum menjadi besar.***

Leave a comment