Catatan tentang ‘intervensi’ SIGI

Penundaan penayangan SIGI ‘Bisnis Sex dalam Penjara’ memicu polemik. Pihak SCTV menyatakan ada intervensi dari Kemenkumham, sementara Menteri Hukum dan HAM menyatakan tidak melakukan intervensi. Keputusan penundaan penayangan SIGI sepenuhnya merupakan wewenang SCTV. Yang menarik adalah beberapa detail yang terungkap dalam pemberitaan media.

Pihak SCTV menunjukkan surat dan SMS dari seseorang mengaku utusan Kemenkumham. Sumber-sumber SCTV mengakui adanya kedatangan dua orang mengaku utusan Kemenkumham. Sementara Menteri Hukum dan HAM merasa tidak pernah mengirim utusan atau memerintahkan untuk mencegah penayangan.

SMS yang ada merupakan bukti tak terbantahkan bahwa ada upaya intervensi. SCTV juga telah memberikan nama pejabat Kemenkumham yang datang kantor masih dalam tujuan membahas penayangan SIGI. Jadi dapat disimpulkan bahwa  ada yang datang, tetapi untuk membuktikan apakah yang bersangkutan adalah benar-benar pejabat Kemenkumham atau apakah yang bersangkutan benar-benar diutus oleh Menkumham perlu ada penyelidikan lebih lanjut.

Pihak SCTV menyebut nama yang juga telah ditulis di halaman depan Harian KoranTempo edisi Jumat, 22 Oktober 2010. Apakah nama tersebut benar-benar ada dalam  struktural pejabat Biro Humas dan HLN ? Pun apabila ada apakah SCTV dapat membuktikan bahwa benar yang bersangkutan yang datang ke SCTV ? Karena apabila tidak dapat dibuktikan, bisa saja pihak Kemenkumham mengajukan somasi atas dasar defamasi. Mengapa ? Karena Menkumham sendiri menjamin tidak melakukan tindakan intervensi, SIGI bebas ditayangkan kapan saja. Apapun isinya kelak akan menjadi masukan berharga untuk perbaikan pemasyarakatan di masa yang akan datang.

 

Peran Humas Menyikapi kasus ‘Intervensi’

 

Umumnya pegawai Humas sangat memahami UU no.40/1999 tentang Pers. Staf Humas sangat memahami adanya hak koreksi dan hak jawab apabila ada pemberitaan yang tidak benar terhadap suatu peristiwa. Dapat dikatakan bahwa Biro Humas sama sekali tidak perlu khawatir terhadap adanya berita yang dapat bernilai negatif. Humas dapat menawarkan beberapa opsi:

1. Proactive

Pihak Humas dapat secara proactive mendekati pihak SCTV dan melakukan mediasi didampingi KPI dan Dewan Pers dalam rangka sesegera mungkin memberikan klarifikasi kepada masyarakat. Tindakan proactive harus segera dilaksanakan untuk mencegah kemungkinan politisasi atau merembetnya pemberitaan dalam hal-hal yang tidak relevan.

2. Klarifikasi

Apabila SCTV dapat membuktikan bahwa benar  ada intervensi dari pihakKemenkumham, meskipun tanpa sepengetahuan Menkumham, sebaiknya Biro Humas melakukan klarifikasi. Hal ini mengindikasikan ketidakcermatan, upaya ‘cari muka’, sekaligus ada upaya internal menutupi fakta sebelum diketahui oleh pimpinan. Indikasi tersebut mengarah pada kurang kompetennya pejabat terkait. Maka untuk menjaga kepercayaan  kepada Biro Humas, masyarakat perlu menerima klarifikasi.

Biro Humas perlu memberikan statement terbuka bahwa tidak ada maksud sama sekali melakukan intervensi. Bahwa pemberitaan yang bergulir menjadi bola api ini hanyalah ‘kesalahpahaman’ yang patut diluruskan dengan  menghormati prinsip keterbukaan informasi, kode etik jurnalistik dan UU Pers.

3. Denial is futile

Fakta akan segera terungkap. Diam hanya menunda penyelesaian masalah serta memicu merembetnya masalah ke hal-hal yang tidak relevan. Berdalih tidak mengetahui apa-apa hanya menunjukkan betapa buruknya alur komunikasi dalam internal manajemen, hingga pimpinan tertinggi dan middle management seolah berjalan sendiri-sendiri. Bagaimanapun alur komunikasi harus diperbaiki dan rantai komando harus ditegakkan kembali, agar tercipta suatu jalur komunikasi yang kondusif.

Masalah komunikasi tidak dapat ditutupi. Ketidaksinkronan apa yang diucapkan dengan tindakan disertai fakta dilapangan segera meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Hal-hal yang sepatutnya dihindari.

 

Terkuaknya kasus SIGI merupakan pelajaran berharga bagi Humas dalam menyikapi berita negatif. Kasus SIGI memberikan lagi artinya pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam Humas. Pencitraan adalah outcome dari perilaku yang positif. Pencitraan tidak dapat diukur melalui berapa banyak buku yang telah dihasilkan atau berapa kali Menkumham tampil di TV.

Humas harus dapat memetik pelajaran ini untuk diterapkan dalam prosedur pengelolaan issue negatif. Seperti yang sering dinyatakan bahwa ‘pengalaman adalah guru terbaik’ . ***

Oleh : Fatma Puspita Sari

 

Leave a comment